Hal yang Tidak Saya Suka Ketika Pulang


Hal yang tidak saya sukai ketika pulang adalah, saya tahu akan kembali lagi ke Jogja.

Pagi ini, tanggal 3 Februari, saya harus berkemas-kemas menyiapkan baju dan segala sesuatu yang mesti dibawa untuk kembali ke Jogja. Sekitar 6 bulan, penantian yang cukup lama saya menunggu untuk bisa pulang ke rumah. Rasa bahagia dan bersyukur masih diberikan kesempatan untuk melihat wajah mereka; orang tua.

Kata ustadz Subhan Bawazier, "Ada dua pemandangan paling indah di muka bumi ini; melihat ka'bah dan melihat wajah orang tua."

Sayangnya, liburan saya terpotong karena ada beberapa mata kuliah terkena remediasi, jadi mau tidak mau harus terpaksa berangkat kembali ke Jogja.

Tapi ada hal yang saya syukuri ketika kuliah jauh, merantau. Saya bisa mendapatkan banyak pelajaran. Salah satunya, saya jadi menyadari betapa berharganya sebuah keluarga. Ternyata sebanyak apapun saya bertemu dengan manusia di luar sana, sebaik apapun mereka, saya tidak bisa menemukan kebaikan yang semisal saya dapatkan ketika di rumah.

Dan memang seharusnya rumah adalah tempat terakhir setelah perjalanan panjang kita, tempat kita pulang, menjadi tempat paling nyaman seantero bumi dibandingkan tempat-tempat lain.

Bener kata orang, "semakin jauh dengan yang di rumah, semakin sayang dengan yang ada di rumah."

Saya suka sekali dengan kata-kata yang saya temui di Quora, begini bunyinya, "Orang tua itu ibarat pohon pisang induk dan tunas pisang sekelilingnya adalah anak-anaknya. Semakin jauh tunas dengan induknya, maka dia akan tumbuh besar dan subur. Begitu juga sebaliknya. Kalau tunas makin dekat dengan induknya maka tumbuhnya tidak terlalu bagus"


Sumber: Quora
Dengan merantau, saya jadi mengerti dan sadar pentingnya sebuah keluarga. Jadi mengetahui betapa sayangnya orang tua terhadap saya, dan saya juga jadi semakin menyayangi mereka.

Saya rasa bila tidak kuliah jauh, saya tumbuh menjadi laki-laki yang manja, tidak bisa melakukan apa-apa, karena merasa 'ada orang tua'. Saya bersyukur dengan apa yang saya dapatkan, saya pelajari sampai detik ini.

Kesadaran itu tumbuh, menjadi peka seiring bertambahnya usia. Jadi, ketika pulang-- saya berusaha melakukan sesuatu yang saya bisa. Seperti dulu; tidak pernah menyuci piring setelah makan, sekarang menyuci tanpa disuruh, menguras kamar mandi, mengepel dan lain-lain. Melakukan sesuatu yang saya bisa.

Saya menjadi tidak keberatan bila disuruh-suruh, karena alasan saya pulang ke rumah, ya.. ingin bertemu dengan mereka; orang tua. Berusaha melayani mereka diusia mereka yang tidak lagi muda. Karena diwaktu tuanya, saya rasa orang tua itu lebih membutuhkan sosok anaknya.

Bude saya (kakak dari ibu saya) beliau pernah berkata, "Pan, orang tua itu kalau di masa tuanya sangat membutuhkan sosok anaknya. Dikasih atau dikirimkan uang memang senang, tapi itu nomor sekian, bukan yang utama. Yang utama itu kasih sayang mereka; anak-anak."

Lagi-lagi membuktikan; uang penting, tapi tidak segalanya.

Lalu, kepekaan lainnya; saya mencoba untuk mengajak mereka berbicara terlebih dahulu, bercerita mengenai apa saja. Terlebih lagi, mengajak berbicara lebih dahulu ayah saya.

Karena kan aneh saja gitu, saya sebagai anak, bisa berbicara asik di luar sana, tapi masa ketika di rumah menjadi orang yang paling pendiam.

Banyak orang kalau lebaran, rela mudik dengan perjalanan jauh, rela keluar banyak biaya, bahkan ada beberapa nyawa yang hilang, semua itu karena ingin bertemu dengan orang tua.

Masa iya saya menyia-nyiakan kesempatan ketika bersama, sangat tidak bersyukur sekali dong saya.

Yang menjadi catatan; saya tidak se-ideal itu sebagai anak, banyak kecacatan yang ada, kita sedang berupaya sama-sama menjadi anak yang baik, semampu yang kita bisa. 

Ayah saya..

Saya jarang sekali berbicara dengan beliau. Karena yang saya ingat-- beliau bekerja, berangkat dari Karawang ke Jakarta. Begitu setiap harinya. Berangkat ketika anak-anaknya belum terbangun, pulang ketika anak-anaknya sudah tertidur, dan itu terjadi bertahun-tahun.

Disaat (mungkin) orang tua lain bahagia melihat tumbuh kembang anaknya, dari hari ke hari, beliau rela menukar itu, tau-tau anaknya sudah pada tumbuh besar. Ini yang banyak seorang anak tidak melihat pengorbanan dari ayahnya.

Menjelang 4 tahun masa pensiun beliau, yang insyaa Allah 2022, beliau meminta mutasi agar dipindahkan ke Karawang. Dan tahun 2018 beliau dipindahkan, bertepatan dengan tahun saya masuk kuliah.

Sekarang, beliau lebih dekat dengan kami, beliau juga kalau berangkat kerja berdua dengan ibu saya. Saya begitu bahagia melihat pemandangan ini.

Maka, salah satu cita-cita saya ketika nanti berumah tangga dan mempunyai anak, saya ingin menjadi orang pertama yang mendengar cerita mereka sebelum teman-temannya, dan mereka merasa nyaman akan hal tersebut.

Karena saya merasa, tidak semua orang tua bisa, entah mungkin ada keseganan dalam diri mereka ketika memulai pembicaraan kepada anak. Pun sebaliknya, keseganan dalam diri anak untuk memulai pembicaraan kepada orang tua.

Berikut, gambar yang sangat relate, membuat saya sadar:




Kok gambarnya ayah saja? ibunya mana? Bagi saya seorang ibu jelas lebih banyak perjuangannya. Kita sepakat akan hal tersebut. Ibu sendiri kedudukannya lebih tinggi dibandingkan ayah. Bahkan di dalam hadits nabi sampai disebutkan 3 kali, "ibumu, ibumu, ibumu."

Membahas ayah karena perannya yang banyak tidak terlihat oleh anak, tapi memiliki dampak yang luar biasa. Saya baru menyadari hal tersebut.

Haha makanya ingat banget suka denger orang bilang, "entar baru rasain kalau jadi orang tua."

Saya bisa tumbuh sebesar ini, setelah karena pertolongan Allah, ya karena berkat mereka; orang tua.

Apalagi saya yang sudah tidak bisa tiap hari bertemu dengan mereka. Bagi saya waktu yang ada begitu berharga. Alhamdulillah saya bersyukur Allah memberikan kepekaan seperti ini.

Saya ingin mereka melihat, ada tampak perubahan baik dari sikap anaknya dan terlebih lagi memang sudah perintah Allah untuk berbakti kepada orang tua. Saya sangat bersyukur mendapati keduanya masih ada.

Tubuh mereka sudah tidak lagi sekuat dahulu, makanya ketika pulang saya mendapati keluhan dari ibu, beliau cerita kakinya suka sakit lalu minta dipijiti. Haha ini emang mau manja aja sama anaknya.

Tiba-tiba langsung teringat, "Dahulu saya suka manja ke mereka, dan sekarang ketika anak-anaknya sudah tumbuh dewasa, tidak bisa selalu ada dalam dekapannya, tidak bisa menggendongnya seperti dahulu, gantian sekarang mereka yang ingin sekali-kali bisa bermanja-manja ke anaknya." Dan saya suka.

Saya termasuk orang yang perasa, sepertinya menuruni sifat dari ibu. Setiap meninggalkan rumah selalu menangis. Bagaimana tidak menangis, karena berpisah dengan seseorang yang belum tentu bisa bertemu kembali. Entah mereka yang lebih dahulu meninggalkan, atau saya yang terlebih dahulu.

Tapi semoga saja Allah masih memberikan kesempatan untuk bisa bertemu, dan berbakti kepada mereka. Aamiin.

Karena balasan itu tergantung jenis perbuatan. Balasan dari berbakti, akan dibaktikan.Ya semoga saja dengan anak-anak kita kelak. Aamiin.

Saya jatuh cinta dengan segala sesuatu yang ada di rumah; manusianya, suasananya dan interaksi di dalamnya.

Taufan Maulana Putera
03 Februari 2020
Ditulis di rumah tercinta, Karawang.

Komentar

Postingan Populer