Menikmati Sastra

Buku Pertama (Distilasi Alkena), Buku Kedua (Disforia Inersia)

Mungkin baru satu minggu, buku ini tiba di rumah. Distilasi Alkena dan Disforia Inersia. Dua buku karya mas Wira Nagara. Jujur, saya sudah mengetahui beliau dari zaman ketika beliau mengikuti SUCI 5. Beliau memang terkenal ketika stand up dengan gaya puitisnya. Gara-gara beliau, dulu saya ingin mempunyai kumis panjang, terus kumisnya dimodelkan ke atas seperti beliau. Eh tapi, sekarang malah risih kalau panjang-panjang. Hahaha.

Berarti, bila tidak salah dalam mengingat, ketika itu saya masih duduk di bangku SMA. Dulu beliau belum mengeluarkan buku, saya menikmati tulisan-tulisan beliau dari blog dan di twitter. Tulisan-tulisan beliau dulu menjadi teman setia yang menemani saya ketika patah hati.

Sampai-- buku pertama beliau rilis yang berjudul Distilasi Alkena tahun 2016. Saya turut berbahagia. Tapi saya tidak sampai untuk membelinya. Menunggu teman yang beli duluan, dan meminjamnya. Hehehe dulu untuk urusan buku ketika harus mengeluarkan uang adalah perkara yang berat.

Saya meminjam buku tersebut dari teman saya, namun alhasil hanya menghabiskan beberapa lembar halaman saja. Padahal buku yang dipinjam tersebut berbulan-bulan berada di rumah. Karena kelamaan, ya saya pulangkan saja bukunya.

Saya memang dari dulu sangat menyukai kata-kata, puisi, sajak dan sejenis keindahan tulisan lainnya. Tapi suka tersebut tidak sampai titik kepada membeli sebuah buku. Hanya menikmati yang ada saja, alias gratisan. Ya, padahal emang tingkat minat bacanya yang rendah.
                                                                . . .

2020-- tepatnya tanggal 3 Mei, saya membeli dua buku karya Aan Mansyur yang berjudul; Melihat Api Bekerja (Kumpulan Puisi) dan Kukila (Kumpulan Cerita). Dari dua buku tersebut, akhirnya saya memberanikan diri untuk pertama kali membeli buku sastra.

Sejak SMA, saya sudah menyukai sastra. Saya sempat mencoba membuat puisi, tapi tidak pernah berhasil, susah sekali. Maka salah satu alasan saya membeli buku-buku sastra, seperti puisi atau kumpulan sajak dan yang semisalnya, karena agar bisa membuatnya. Dan lebih jauh lagi, bisa menambah perbendaharaan kata.

Ya karena tidak mungkin orang bisa menulis, kalau tidak banyak dalam membaca. Aan Mansyur berkata dalam sebuah wawancara, terkait tips menulis yang pertama beliau menjawab: "Tipsnya yaitu banyak membaca. Mungkin untuk membuat sebuah 1 buku. kita harus membaca 1000 minimal buku." Ya wajar saja, beliau sangat mencintai literasi. Maka lahirlah sebuah masterpiece seperti; Melihat Api Bekerja, Tidak Ada New York Hari ini. Wong 1000 buku yang disarankannya.

Sungguh saya salut dengan kepala para penyair yang luar biasa dalam membuat kata-kata menjadi indah dan sarat makna. Terkadang saya tidak mengerti apa maksud yang dituliskan oleh penulis, ada beberapa kata tidak familiar terdengar, harus beberapa kali membuka KBBI untuk melihat arti katanya. Tapi saya suka. Saya menyukai ketidakmengertiaan saya tersebut.

                                                             . . .

Pandji Pragiwaksono di Youtube beliau yang berjudul, "Bagaimana Menumbuhkan Minat Baca" berkata, salah satu tips untuk menumbuhkan minat baca dengan mengetahui apa yang menjadi minat kita, hal apa yang membuat kita menjadi tertarik. Maka dari itu, saya membeli buku-buku di atas. Selain berharap bisa belajar menulis kata-kata, yaitu untuk bisa menumbuhkan minat baca.

Meski tidak sedang mengalami patah hati, atau dirundung kesedihan, saya menikmati buku Distilasi Alkena yang sedang saya baca hari-hari ini. Dengan buku ini, patah hati menjadi suatu hal yang sangat elegan. Siapa pun yang sudah membacanya pasti akan sepakat. Makanya saya ketika membaca buku ini saat sedang santai, tidak ingin terburu-buru untuk menyelesaikan.

Ada kutipan dari buku itu yang menjadi salah satu favorit saya, "Sementara itu kau sedang sibuk-sibuknya mencuci baju anakmu yang pipis sembarangan. Letih yang sangat kau nikmati bersama lelaki yang kau panggil suami.

Rumahmu adalah alasan kenapa hatiku tak lagi bisa mengatakan pulang. Ragaku dingin serupa subuh di pedesaan, sedih yang semakin rindang, dan air terjun telah tumbuh di pelupuk mataku.

Kesedihan ini sengaja aku jaga, agar kelak ketika anakmu merengek, kau bisa mengunjungiku sebagai sarana rekreasi. Aku rasa menertawai ketidakberdayaan lelaki untuk berpindah hati adalah hiburan yang tepat untuk keluargamu.

Mampirlah, ini keajaiban yang tak boleh kau lewatkan. Di mana lagi kau bisa melihat seseorang yang kehilangan hati masih bisa hidup dan tertawa?

Ah, tenang saja, untukmu tak ada biaya masuk! gratis!"

Ditulis ulang dari buku Wira Nagara yang berjudul Distilasi Alkena, pada halaman 11 yang judul 'Fraktal Gehenna'.

Terima kasih.

Taufan Maulana Putera
06 Juni 2020
Ditulis di Karawang

Komentar

Postingan Populer