23 Sajak Favorit Pada Buku Distilasi Alkena


Saya baru saja menghabiskan buku Distilasi Alkena karya Wira Nagara. Buku yang sudah lama terbit. Namun saya baru berkesempatan untuk membacanya. Bagi saya, menikmati buku ini, tidak bisa langsung dibaca cepat, atau seperti membaca Novel dan sejenisnya. Saya lebih menyukai membuka tiap lembaran-lembarannya dengan perlahan, karena dengan seperti itu saya bisa menikmati tiap susunan kalimat yang sangat magis, begitu terasa sampai kepada pembaca. Ada juga yang sangat bagus, jadi saya membaca dan sekaligus merekamnya. 

Melalui buku ini, tidak pernah membayangkan, patah hati ternyata dapat seelegan ini. Dibungkus rapi dengan diksi-diksi dan majas yang luar biasa. Urutan nomor tidak mengindikasikan apa-apa, bukan urutan yang paling disuka, tidak. Hanya memang berada di halaman awal saja.

Berikut, daftar sajak favorit saya pada buku Distilasi Alkena:

1. Aku selalu heran kepada orang-orang yang suka menambahkan gula ke secangkir kopi. Sebegitu hinakah rasa pahit? Bukankah hal terbaik dari kehidupan adalah menikmati kesedihan. Ah, mereka tak biasa menikmati lara. Atau mungkin, mereka perlu bertemu senyummu agar tahu arti manis sesungguhnya. (Fraktal Gehena, Hal. 8)

2. Di dekatmu cita-cita hanyalah menjadi telinga. Mendengarkan suaramu adalah alasanku tetap ada di dunia. Di kejauhanmu, tujuan hidupku hanyalah pulang. Melihat kau menua adalah alasanku menjaga degup jantungmu tetap tenang (Katalis Koagulasi, Hal 38)

3. Dibanding kepergianmu, senja jauh lebih paham cara berpamitan. (perpindahan halaman)

4. Kita berada di bawah angkasa yang sama, tetapi kenyataannya atmosfer kita jauh berbeda. Kaulah poros kenapa rinduku bisa terisi, tetapi bukan aku yang kau jadikan alasan rasa berotasi. (Katalis Koagulasi, Hal 41)

5. Aku tak pernah menyesal akan keputusanmu memilihnya, yang aku sesalkan adalah tiada sedetik pun kesempatan bagiku membuatmu bahagia. (Distilasi Alkena, Hal 45)

6. Bukan perih yang aku ratapi, tetapi pengertian yang tak pernah kau beri. Sadarlah! Aku telah mencintaimu dengan terengah-engah, mencibir oksigen dengan menjadikanmu satu-satunya udara yang aku izinkan mengisi setiap rongga, menghempas darah dengan namamu yang mengalir membuat jantungku tetap berirama. Padamu, aku jatuh hati. Bahkan sebelum Tuhan merencanakan Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. (Distilasi Alkena, Hal 46)

7. Bagaimana mungkin aku menjauh jika hanya padamu keakuanku luluh? Bagaimana mungkin aku pergi jika bayanganmu masih saja menghiasi mimpi? Bagaimana mungkin aku berpindah bila hanya padamu hatiku bisa singgah? (Distilasi Alkena, Hal 49)

8. Cinta tak selamanya tentang kepemilikan, tetapi cinta adalah tentang keikhlasan. Segala rela aku coba tumpahkan, pada rajutan tinta yang menulis namaku dalam undangan pernikahan.  (Distilasi Alkena, Hal 49)

9. Paling tidak, aku pernah merasakan perihnya ditolak tanpa penjelasan. Paling tidak, aku pernah menyadari sakitnya mendamba tanpa balas peduli. Paling tidak, aku akhirnya bisa melihat sosok terbaik yang akan mendampingimu, memakaikan cincin di jemarimu, mencium keningmu, dan bersanding bahagia berbagi senyuman denganmu. Terima kasih atas segala rasa, pada hari itu aku pun mengucap bahagia, mencoba ikhlas. Walau air mata pasti mengucur deras. (Distilasi Alkena, Hal 50)

10. Melihatmu, pemandangan terindah yang membuat hatiku semakin berdarah. Mengingatmu, penyiksaan terbaik membuat air mata deras menitik. (Pandemi Hepatomegali, Hal 58)

11. Dan mengikhlaskan kepergiaanmu, sebuah prestasi yang masih sebatas mimpi. (Pandemi Hepatomegali, Hal 58)

12. Berbahagialah dalam janji suci, wahai hati yang tak pernah bisa aku miliki. Selamat menempuh hidup baru, dari aku yang gagal menikahimu. (Pandemi Hepatomegali, Hal 58)

13. Ada denyut sesak saat mendengar kabarmu sekarang, bahwa kau telah menemukan seseorang, dan bersamanya kalian saling mengikat sayang. Kau mengabariku untuk datang, berkunjung pada singgasana yang membuat kalian menjadi raja dan ratu semalam. (Deteorisasi Hepatalgia, Hal 83)

14. Kau tak pernah memberikan kesempatan, menjadikanku teman cerita sudah cukup membuatmu nyaman. Sedetik saja sungguh aku ingin memilikimu, walau tak selamanya, paling tidak bisa mewarnai setiap cerita. (Deteorisasi Hepatalgia, Hal 83)

15. Isi kepalaku masih saja tentangmu, tetapi ketiadaanku di hatimu membuatnya pilu. Satu hal yang masih membuatku tersenyum adalah anugerah kehormatan yang kau berikan atas hancurnya segala perasaan. Namun tersenyum, hanya kamuflase kesedihan dari sakit yang begitu ranum. Ditemani kepulan penyesalan dari rokok yang aku bakar dengan kecemburuan, aku merayakan kepergianmu bersama air mata yang merintik bersamaan. (Deteorisasi Hepatalgia, Hal 84)

16. Di tempat berbeda kita pun bercerita, kau dan dia berpelukan dalam ikatan pernikahan, aku di sini berpelukan dengan kesendirian.  (Deteorisasi Hepatalgia, Hal 84)

17. Denganmu, jatuh cinta adalah patah hati paling sengaja. (Dispersi Kardiomiopati, Hal 97)

18. Satu-satunya foto yang membuatku bisu dalam sekumpulan fotomu, sering kali aku tenggelam dalam Instagram, mengagumi betapa indahnya hidupmu sekarang; cantik, bersuami mapan, dan berhias tawa keturunan. (Sinergi Anjani, Hal 108)

19. Aku mohon siapkan otot wajahmu terutama bagian pipi; sebab tertawa bersamaku bisa jadi begitu lama, dan sungguh aku tak ingin lesung pipimu mati. (Dialisis Polimerisasi, Hal 112)

20. Sejauh mungkin aku ingin pergi, tetapi di hatimu langkahku telah terkunci. (Dialisis Polimerisasi, Hal 114)

21. Maka biarlah doa-doa ini menyusuri ruang malam, menasbihkan kerinduan, menggetarkan kesadaran bahwa kelak yang kau banggakan akan menjadi yang paling kau relakan. (Ultimatum Vulnus Contussum, Hal 122)

22. Oh iya, aku ingin menyampaikan sesuatu. Kau tahu beda kopi dengan rindu? Tak ada. Keduanya sama-sama pahit. Karena cinta yang membawamu pergi, dan ternyata rindu tak cukup membawamu kembali. (Sentrifugal Bifurkasi, Hal 138)

23. Kita adalah penikmat khawatir paling juara. Tak peduli atas segala risau penolakan, kita melaju menembus pijar bintang menyampaikan doa-doa sederhana. Sehat, bahagia, cukup makan, usaha lancar dan apa saja yang menaungi harap untuk bisa terus meliat dia melangkah di dunia. (Sakarin Sirkuler, Hal 142)

. . .
 
Sebenarnya masih banyak sajak-sajak favorit yang tidak dimuat dalam tulisan ini. Berhubung takut terlalu kepanjangan, jadinya terpililah 23 ini. 
 
Saya bercita-cita ingin membuat sebuah puisi, paling tidak satu dalam hidup. Apalagi puisi yang bertemakan cinta. Jujur saya masih sukar dalam menuliskannya. Sebuah puisi yang kelak akan saya bacakan langsung di hadapan istri saya. Niatnya ingin seperti itu. Tapi ketika menulisnya dipaksakan saat ini, sangat tersiksa, karena di tidak ada ide yang berterbangan di kepala. Oh mungkin nanti, ketika sudah mempunyai istri kali ya, baru bisa, ide-ide menggeliat keluar. Ya, kita lihat nanti saja seperti apa. Hahaha.

Taufan Maulana Putera
20 Oktober 2020
Ditulis di Karawang

Komentar

Postingan Populer