Bisa Jadi Ini Yang Terakhir
Sumber: Unsplash.com |
Kemarin. Tepatnya waktu sore. Saya datang melayat ke rumah teman SMA saya. Ayahnya wafat. Saya dikabarkan telat waktu siang hari, melalui perantara teman saya yang lain. Ternyata jenazah sudah di kebumikan pagi tadi. Tidak masalah. Saya tetap datang. Sesampainya di sana, putri yang ditinggalkan alias teman saya tersebut terlihat begitu bengkak matanya. Memang siapa yang tidak menangis jikalau ditinggalkan yang tercinta?
Saya menyadari, saya datang di sore hari. Pasti sudah banyak tamu yang berdatangan dari pagi, entah dari tetangga, sahabat, teman atau kerabat jauh yang ditemui oleh teman saya ini. Yang pasti dimana kebanyakan akan bertanya, "kenapa?", "Sakit apa?" dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Bagi saya itu pertanyaan yang wajar, karena tiap kepala orang punya pertanyaan yang ingin diajukan.
Namun, jika pertanyaan yang sama, ditanyakan berulang-ulang, dijejali terus-menerus ya bisa overdosis juga. Capek untuk menceritakannya. Jadi saya lebih memilih bertanya mengenai hal lain atau justru menunggu dia yang akan bercerita sendiri.
Mungkin itu cerita pengantar dari tulisan ini.
...
Melayat hari ini merupakan melayat yang kesekian yang saya datangi selama satu tahun di Karawang. Saya akan mencoba untuk mengingatnya, sebentar..
11 April, meninggal bapak teman SMP saya, menjelang h-2 bulan Ramadhan. Lalu, 4 April di perumahan saya, seorang ibu dari teman saya meninggal dunia, 4 Januari bapak teman sekelas SMA saya meninggal, dan dua bapak-bapak meninggal, tetangga saya yang jaraknya hanya selisih beberapa rumah. Total yang saya ingat berjumlah 6 orang.
Semoga Allah menerima ibadah dan mengampuni segala dosa-dosa mereka semuanya. Aamiin.
Menyebutkan angkat di atas, karena terdapat korelasi dengan Ramadhan kita tahun ini.
Alhamdulillah, hari ini memasuki tanggal 9 Ramadhan. Bersyukur karena masih dipertemukan dengan bulan Ramadhan tahun ini. Namun tidak ada yang dapat menjamin, kita bisa bertemu hari lebaran. Jangankan hari lebaran, untuk puasa belum tentu ada hari ke 10, 11 atau 12. Tidak ada yang dapat menjaminnya.
Masih begitu teringat di kepala, perempuan satu angkatan dan seusia saya, tetangga rumah, meninggal dunia 1 Juni 2019, menjelang h-4 lebaran. Allahuakbar.
Melihat kasus di atas, ada yang tahun ini sahur sudah tidak lagi ditemani ayahnya. Atau ibunya. Atau anak perempuan tertua. Dan bisa jadi, tahun ini merupakah Ramadhan terakhir kita. Momen bisa sahur bareng keluarga, buka bersama orang-orang tercinta.
Malu seharusnya kita kalau tidak berpuasa, tidak terawih, tidak baca Al-Quran, sedangkan kematian tinggal menunggu giliran. Jika seandainya kita diberitahu waktu sebelum meninggal dunia, kita tidak akan menerima ajakan buka bersama, terkadang ada yang buka bersama sampai melewatkan shalat Maghrib-Tarawih-Isya, ketawa-tawa sampai jam 2. Kita tidak akan mau. Kita akan menolak ajakan tersebut. Karena tahu, tahun ini merupakan kesempatan terakhir bertemu dengan Ramadhan.
Belum lagi diri kita yang penuh dosa, selalu memprioritaskan dunia. Mungkin masa lalu kita ada yang sengaja tidak berpuasa. Berpuasa namun tidur dari pagi hari dan terbangun menjelang berbuka. Melakukan transaksi narkoba. Atau main perempuan ketika Ramadhan.
Pandemi mengambil banyak hal, namun disatu sisi lain pandemi juga memberikan banyak hal. Tahun ini saya bisa sahur, buka bersama dengan keluarga. Mungkin ketika tahun 2019 saat di Jogja, saya kerepotan untuk mencari buka, kesepian karena sahur sendirian. Sekarang, meski di rumah, menu buka atau sahur hanya itu-itu saja. Tetapi dengan siapanya itu yang membuat bahagia. Percayalah kehilangan paling besar dan menyakitkan ketika udah tidak bisa bersama keluarga lagi.
Anda tahu mengapa banyak orang ingin atau memaksa untuk pergi mudik? Ya itu karena berkeinginan bisa bertemu dan bersama dengan keluarga. Teringat dulu, sampai berita angka kematian akibat kecelakaan mudik begitu banyak.
Lantas, kita yang masih ada orang tua, dan keluarganya masih utuh malah menyia-nyiakannya? Demi Allah, kufur nikmat kita. Terlepas setiap keluarga pasti mempunyai masalah di dalamnya.
Jika kembali ke awal tulisan, mengetahui banyak yang sudah tidak bersama dengan keluarganya karena meninggal dunia, pasti perasaan bersyukur yang akan lebih dominan, perasaan bersyukur yang lebih di kedepankan.
Apalagi Alhamdulillah Ramadhan tahun ini masjid-masjid sudah dibuka. Buka bersama di masjid sudah marak, kajian-kajian, itikaf dan kebaikan-kebaikan lainnya bertebaran. Tahun kemarin benar-benar kepayahan.
Ramadhan-- atmosfer seluruhnya kebaikan yang dirasakan.
Bulan terbaik. Suasana terbaik. Kebangetan kalau kita tidak bisa memanfaatkan momentum ini.
Semoga Allah memudahkan kita semuanya untuk mendapatkan predikat takwa dari Allah Ta'ala ketika Ramadhan selesai. Aamiin.
Yaudah gitu aja, kebetulan sudah jam 5 sore, saya ingin membeli jus sebelum nanti berbuka puasa.
Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar