Pagi Hari si 21 Tahun

Sumber: Unsplash.com


Selepas shalat subuh, saya langsung tidur kembali. Padahal dari awal tahun saya sudah menulis sebuah goals agar tidak tidur sehabis subuh. Tapi sulit, masih kalah. Besok saya akan mencobanya lagi.

Saya terbangun jam delapan. Berjalan, menuju dapur terus ada perempuan kecintaan saya; ibu. Beliau sedang sibuk dengan bahan-bahan bekas belanjaan beliau dari pasar, ketika mendekati beliau, beliau sambil berkata, "selamat ulang tahun nak, semoga panjang umur, sehat selalu, lancar perkuliahannya." Saya menyahutinya, "aamiin mamah, terima kasih." Sembari masuk ke dalam kamar mandi.

Tidak lama, ketika saya keluar kamar mandi, ayah saya datang juga, sembari mengucapkan "Selamat ulang tahun le, semoga semakin menjadi anak yang baik."

Saya kembali menyahuti, "Aamiin, terima kasih pah. Aku udah tua, 21 tahun"

"Iya le, udah tua lo" balas ayah saya.

Ya, sangat membahagiakan. Bukan karena orang-orang terdekat ingat ulang tahun saya. Tidak. Karena, berkat pertolongan Allah saya sendiri sudah tidak merayakan ulang tahun.

Yang membuat saya bahagia, saya masih bisa diberikan hidup sampai diusia saya saat ini, masih bisa menikmati senyuman dari keluarga saya. Itu adalah kado paling mewah.

Teman saya sendiri, tidak ada yang mengucapkan, kecuali si Aryo ini, hahaha. Tapi itu yang saya harapkan, tidak mendapatkan ucapan. Karena saya juga sudah tidak pernah lagi mengucapkan selamat ulang tahun kepada mereka. Jadi saya tidak ada perlu untuk merasa berhutang selamat, karena sudah diucapi.

Karena bagi saya, agama ini adalah parameter tertinggi kebaikan, saya berusaha untuk tidak menyelisihinya. Toh, parameter anda dan saya menjadi teman, tidak dilihat dari ucapan.

Betapa banyak orang mengucapkan selamat karena keterpakasaan, karena ada status sebagai teman. Padahal tidak terlalu penting-penting amat. Haha sepagi ini saya sudah berpikir yang tidak-tidak.

Saya lupa menceritakan ini. Tadi pagi setelah mendapatkan ucapan di atas, tidak lama ibu saya memanggil tukang galon air yang sedang lewat di depan rumah. Kemudian saya diperintahkan untuk keluar, menghampiri penjualnya.

Lalu, saya bilang "Pak air galon dua ya."

Saya lupa, apakah si bapak menjawabnya, tapi seraya sambil menuruni dua galon.

Lalu, beliau masuk ke dalam, saya di belakangnya membawakan satu galonnya lagi, biar si bapak tidak perlu repot-repot untuk kembali lagi ke luar. Sesampainya di dapur, beliau nanya ke ibu saya, "Bu ini mantunya ya?"

Saya tidak menjawab apa-apa ketika mendengarnya, hanya ketawa.

"Eh, bukan.. ini anak saya." Saut ibu saya.

"Baru ketemu soalnya bu, baru liat, terus udah jenggotan jadi mengira mantunya ibu." Balas tukang galon.

Mendengar kalimat tadi berbarengan dengan saya menurunkan galon. Masih dengan ketawa-tawa aja.

"Iya ini anak saya kuliah di Jogja, jarang di rumah jadi ga pernah keliatan."

Untung saya sudah biasa dikatakan tua, jadi ketika nanti tua beneran tidak kaget. Haha. Ya tapi mau tidak mau harus siap. Bahkan, saya justru menantikan keponakan saya sudah bisa berbicara, dan memanggil saya dengan ucapan, "om.." Ah ternyata saya sudah bukan lagi anak SMA.

Menjadi dewasa rumit, tapi sangat dinanti-nantikan.

Ya mungkin begitulah, pagi hari si 21 tahun. Sama seperti pagi-pagi biasaya. Tidak terlalu ada yang istimewa. Bahagia masih diberikan kesempatan hidup, memandang wajah orang tua dan bisa menyelesaikan tulisan ini.

Tidak terasa sudah 1 tahun berlalu, setelah saya menuliskan di hari yang sama mengenai bertambahnya usia.

Saya sungguh menantikan ketika 10 tahun seperti apa ya saya. Hihi. Semoga saja dapat panjang umur blog ini, karena mempunyai rutinitas selain kuliah, seperti menulis sangat membahagiakan.

Udah ah seperti itu saja, saya ingin mengerjakan yang lain.

Terima kasih.

Taufan Maulana Putera
11 Juli 2020
Ditulis di Karawang

Komentar

Postingan Populer