Saya Lebih Senang Hanya Dibaca

Via: Unsplash.com
Berawal dari keresahan, saya jadi mengangkat tulisan ini, melalu sudut pandang saya sendiri. Karena tidak ada orang yang benar-benar objektif di dunia ini. Ditulis atas kejujuran sendiri.

Berkembangnya teknologi memudahkan kita dalam berinteraksi di media sosial, mendekatkan orang-orang yang jauh, orang yang tidak dapat kita jangkau.

Zaman dulu ketika sekolah,  BBM (Blackberry Messangger) begitu terkenal, beberapa tahun saya menggunakannya, ya cukup lama. Dan pada akhir SMA saya lebih banyak menggunakan WA (Whatsapp) dan meng-uninstall BBM.

Ada suatu yang tidak berubah dari keduanya; yaitu penggunannya.

Bagi saya pribadi, ini merupakan salah satu adab dalam berinteraksi di social media.

Saya sudah puluhan kali mengalami, mengirim pesan, merasakan sakitnya hanya di centang dua abu-abu (terkirim tetapi tidak dibaca) oleh banyak manusia.

Hal tersebut membuat saya trauma. Sampai, kalau semisal orang yang sudah saya hafal kelakuannya seperti itu, saya berusaha untuk nge-read dia duluan. Selama di akhir chat, disana dia tidak ada melontarkan pertanyaan, hanya pernyataan saja.

Atau saya langsung hapus chatan saya dengan dia, agar saya tidak perlu lelah untuk mengecek apakah pesan saya sudah dibaca atau belum olehnya.

Sampai-- saya bertanya-tanya kepada diri ini berkali-kali, membaca berulang takut ada yang keliru dalam mengetiknya.

Kita kan dapat melhat, bila dari hal kecil dan sepele saja sudah tidak menghargai orang lain, bagaimana dengan hal yang lebih besar.

Saya selalu berasumsi, berprasangka baik kalau hanya di centang dua abu-abu (terkirim tetapi tidak dibaca). Ya mungkin dia lagi tidak memegang handphone, atau habis kuota tiba-tiba dan hal-hal lain yang membuat saya berpikir positif.

Lucunya, saya pernah menerima balasan, kurang lebih 3 hari setelah saya WA dia. Dengan alasan, "Mohon maaf chatmu tenggelam"

Bagi saya alasan tersebut sangat tidak dewasa sekali.

Entah saya tidak mengerti apa yang menyebabkan seseorang bisa bersikap seperti itu. Apakah dia merasa bahwa dirinya penting? Padahal tidak juga.

Atau mungkin, yang menyebabkannya adalah karena balasannya yang tidak penting? Tapi masa iya, terlalu percaya diri sekali dia, memangnya yang dia ketik ke kita juga penting? tidak.

Mungkin hal lain dugaan saya; mereka yang hobinya centang dua abu-abu (terkirim tetapi tidak dibaca), karena ingin mempunyai pesan yang masuk ratusan, baginya hal tersebut merupakan sebuah prestasi karena banyak orang yang menghubunginya.

Namanya juga sedang menerka-nerka, bisa salah, pasti. Hehe.

Tapi saya memang menemukan ada yang seperti itu.

Saya sendiri tidak menutup kemungkinan, ada orang yang asik di dunia nyata, ketika di social media malah biasa saja. Ada yang seperti itu.

Pada akhirnya orang-orang itu akan merasakan hal yang sama pada waktunya. Bukan mendoakan sesuatu yang buruk. Tapi bukankah, balasan itu tergantung jenis perbuatan?

Saya ingat sekali, guru fisika SMA saya, ibu Nurul Hardiyanti semoga Allah menjaga beliau. Aamiin. Beliau pernah memberikan saya gantungan bertuliskan, "Dihadapan saya anda adalah orang penting."

Ketika membacanya, saya sangat tersanjung sekali. Dari sana saya bertekad, menanamkan hal itu pada diri saya sendiri. Siapapun orangnya, saya akan berusaha untuk menganggap dirinya penting.

Karena cara terbaik ingin dihargai orang, yaitu dengan lebih dahulu menghargai orang lain.

Ya.. Berbicara tentang centang dua abu-abu (terkirim tetapi tidak dibaca) kalau di dunia nyata seperti, kita mengajak ngobrol seseorang, terus seseorang itu diam saja, tidak melirik ke arah kita.

Kalau di baca masih mending, dia masih mau mendengarkan apa yang kita bicarakan, meski tidak mendapatkan respon.

Semua orang akan senang dengan sebuah balasan, apalagi penantian dari sebuah pertanyaan.

Dan saya termasuk orang yang senang bila hanya dibaca saja, pun sudah mengetik panjang. 

Dibandingkan hanya dengan di centang dua abu-abu saja. Setidaknya, ada usaha yang sudah dia lakukan untuk meng-klik pesan dari saya.

Ini yang saya rasakan, mungkin teman-teman lain menganggap hal ini biasa saja. Atau sepele. 

Ya bagi saya sendiri tidak masalah. Setiap orang berhak atas apa yang dirasakannya, dan tidak harus menuntut kesamaan.

Semakin canggih teknologi, seharusnya semakin bertambah dengan tingkat kesadaran pada diri kita.

Apalagi dengan status manusia, semestinya membuat kita bisa lebih memanusiakan manusia lain.

Taufan Maulana Putera
14 Januari 2020
Ditulis di Yogyakarta tercinta

Komentar

Postingan Populer